Sabtu, 03 September 2011

Puisi Kompas Edisi Minggu 4 September 2011


Puisi - puisi Dedy Tri Riyadi 

Lembu

Tanggunganku, rindu punguk. Berbeban kayu gandar dan lengkung kuk
Aku lembu penarik. Kuseret serat terbaik untuk bulan setengah hilang

Pada malam di luar pagar, kusyairkan aneka kenangan liar
Yang mencambukku tanpa irama, sepanjang jalan mendaki ke huma

O, tandukku, Sepasang lengan kesombonganku. Yang kukuh hanya
garis mimpi. Di hadapan bulan, ia menekur semak rumput,
mensyukuri nikmat maut.

dan punggungku, rimbun lembut kecup ibu, bertabah pada semua
yang berubah. Tak ada yang berat dan berarti melelahkannya. Mengalahkannya

sepanjang jalan ke huma, roda pedati bergerak-berderak seperti usia.
aku lembu penarik, di bawah bulan setengah hilang, terengah tertatih

2011

Apel

Jika kelak aku terjatuh, jauh dari rengkuh
Dan tiba pada ribuan lar, kau akan kukenang
Sebagai dahan, cekatan meluruh selembar daun,

Juga tepat sebelum lalat buah sempat singgah
Dan menitipkan puluhan telur yang renik itu,
Kau embun, pembasah dan pembasuh sulit sakitku

Maka pernah terlintas, di getarnya waktu, kau
Adalah dia yang begitu tertarik pada pelik daya tarik
Dan aku hanyalah apel yang tiba-tiba jatuh.

2011

Sejak dari Pasar, Aku Bumbu Dasar

Di lorongmu, pasar, aku sekeranjang rimpang lengkuas
Sedikit bercabang dan bertunas. Didasarkan, disadarkan
Nanti seorang pembeli mempesiangku

Lukaku getir ketumbar. Padanya terhidu anyir sabar.
Tak dirawat terus ditawar. Ditunjuk-tunjuk tangan
Saudagar: “secupak sedinar?segenggam sedirham!”

Alahai, langkahku hanya bubuk remah. Cengkeh dan lada,
Selekeh tak berharga. Sejimpit tak sejumput, bagi bumbu
Sup buntut. Rtak sesiapa pun membuatku surut.

Bagiku hidup ditumbuk dan disangrai. Didera mabuk
Dan sangsai. Sampai kelak berubah bentuk. Dari kukuh
Hingga lepai. Begitulah kelak segalanya selesai.

Sejak disajakkan untukmu, pasar, daging, lembu dan lawar
Aku akar temu dan aneka bubuk. Di meja makan , hanya
Lihai lidah yang sanggup membedakan.

2011

Puisi-Puisi Esha Tegar Putra


Puisi-Puisi Lampung Post Edisi 4 September 2011

Puisi-Puisi Tia Setiadi


Ode untuk Daun-Daun
                 : Jingga Gemilang

/1/

daun-daun yang jatuh adalah surat-surat
                                         yang mesti kau baca.

           hijau atau jambon warnanya
                         adalah warna lembaran hatimu sendiri

                               yang terbaring
                                                    menunggu, menunggu
                               di luar kata-kata dan ranum kulitmu

              daun-daun
                                                 daun-daun

  daun-daun yang jatuh—
                                   perlahan dan tabah—

                             seperti sehelai sapu tangan jingga yang jatuh
                                                            dari pohon awan

                     sesaat selepas kauseka
kesepianku.


/2/

daun-daun yang jatuh adalah kerinduan
                                 yang mesti kau terjemahkan.

                 musim demi musim
                                        dalam celupan cahaya dan air

                 daun-daun itu mematangkan diri

                                                             menunggu, menunggu
                                                                                 sentuhanmu.

                                                       bacalah gurat-gurat wajahnya
             agar kau kenali gurat-gurat wajahmu sendiri

                               daun-daun
                                              daun-daun

daun-daun yang jatuh adalah lidah-lidah malaikat
                                                                   yang bernyanyi

                             dan lidah-lidah sungai
                                      dan burung-burung pingai
                                                                                        yang bernyanyi
                                           daun-daun
                                                      daun-daun

     pungut dan himpun daun-daun yang jatuh itu
                    lalu kau hamburkan kembali

                                           ke mangkuk bumiku yang subur rindu:

                                   lembaran-lembaran musim—
             bak riak-riak karpet parsi—

       yang hijau pupus,

amin.


Bilqis dan Sulaiman

Duhai bumi, telanlah airmu. Dan duhai langit, berhentilah...
(QS Hud [11]: 44)

"Duhai bumi, telanlah airmu," ujar Bilqis,
sembari berjinjit di lantai Istana Ursyalim.
Ia menyangka lantai itu terbikin dari air
maka ia tarik sedikit ujung gaunnya
dan tersingkaplah dua betis gadingnya
dengan helaian-helaian bulu lunak
yang meriap berkilauan kena sinar damar

Saat Sulaiman berucap bahwa lantai itu
tersusun dari kaca dan bukan dari air
Bilqis seketika terperanjat dan tersipu
hati dan pipinya berubah jadi lembayung
bak dicelup oleh Sang Pencelup Agung
sepasang matanya runduk dalam takjub
bagaikan dua butir embun di taman yang kuyup

"Kedua mataku ternyata menipu, duhai Sulaiman,
kukira bentangan air padahal cermin yang licin,
maka kini biarlah aku buta di hadapanmu,
dan biarlah biru langit berakhir bagiku"

Kemudian Sulaiman mengecup mata Bilqis.

"Wahai Bilqis, bukan hanya engkau yang buta,
kini aku pun buta, karna meski aku mengerti
bahasa berbagai binatang dan makhluk-makhluk gaib
namun ternyata aku tak mampu memahami
huruf-huruf rahasia yang tersembunyi
di helaian-helaian halus bulu betismu,"

Dan Bilqis pun mengecup mata Sulaiman.

"Bila demikian, biarkan matamu jadi mataku,
dan mataku jadi matamu, Junjunanku,
hanya dengan begitu kebesaranmu akan tersingkap
bagiku, dan rahasiaku akan tersingkap bagimu"

Malam kian dalam, damar pun berpadaman
sebab kini minyak dan sumbunya telah bersatu
Tetapi kedua sejoli itu masih saja terjaga
di tempatnya semula, seperti dua air terjun
yang mematung, saling mengurai rahasia
dan meneroka lanskap diri masing-masing
keduanya jadi guru dan murid satu sama lain

Cinta Bilqis dan Sulaiman semakin membesar
dan sengit setiap detiknya, sementara bumi
kian menyempit, dan kemudian menjelma
jadi sehampar kolam kecil yang menyucikan
dan menyatukan guguran gairah keduanya
dengan luruhan cahaya purnama dari angkasa
yang semakin anggun dan keramat setiap detiknya.


Wijayakusuma
tanpa tahu saat ia lewat
tilasnya masih terambung—
di banjir wangi wijayakusuma.
  
Tia Setiadi, menulis esai dan sajak pada pelbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur budaya pada majalah Gong (2008). Kini bekerja sebagai chief editor penerbit Interlude dan peneliti ahli pada Parikesit Institute. Sedang menyiapkan antologi puisi tunggal: Husrev dan Shirin.